Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah buah cipta hasil akal budi manusia yang berupa kesenian, kebiasaan, adat istiadat, dan kepercayaan. Kebudayaan merupakan manifestasi yang khas manusiawi, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang dianugerahi akal dan budi. Dengan kata lain kebudayaan merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lain (hewan). Jadi untuk mempertahankan eksistensi kemanusiawiannya, manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaannya.
Kebudayaan bersifat fleksibel mengikuti kemajuan peradaban manusia, dan tidak juga terikat dengan ruang dan waktu. Saya (penulis) mengatakan kebudayaan itu fleksibel karena secara esensial kebudayaan adalah buatan manusia yang tidak "haram" untuk dirubah. Jaman dahulu mayoritas masyarakat Ciamis memasak menggunakan kayu bakar, kemudian beralih ke minyak tanah, dan kini mayoritas memasak menggunakan bahan bakar gas (LPG). Jaman dahulu Pencak Silat hanya diiringi oleh kendang, kempul, dan tarompet. Tapi sekarang pagelaran pencak silat terkesan lebih elegan dengan iringan kendang pencak yang dikolaborasikan dengan gamelan salendro tabuhan sampak jawa. Itu salah satu contoh bahwa kebudayaan itu sifatnya berkembang mengikuti zaman.
Kedua, kebudayaan itu tidak terikat oleh ruang dan waktu. Saya adalah orang yang tidak pernah peduli ketika Malaysia mengklaim beberapa kebudayaan Indonesia. Dan sebagai praktisi seni Sunda saya akan sangat terbuka seandainya pemerintah Malaysia meminta saya untuk (misalnya) bermain kacapi Sunda mewakili Malaysia di event Internasional yang diselenggarakan oleh Unesco. Karena seniman itu sifatnya profesional, bukan pejabat publik yang dipilih dan digaji menggunakan APBN atau APBD. Sama halnya ketika Mia Audina memutuskan untuk meninggalkan PBSI dan memilih untuk pindah kewarganegaraan dan membela tim badminton Holand. Contoh lain, saya dikenal orang sebagai musisi blues, dan adakah orang (audience) peduli blues itu budaya mana? Lantas adakah orang Amerika yang mencekal saya karena memainkan musik yang notabene adalah kebudayaan mereka? Nah, itu yang saya maksud bahwa kebudayaan tidak terikat ruang dan waktu. Karena ketika kita meyakini bahwa kebudayaan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka akan terjadi kekacauan berfikir. Saat ini kita sepakat bahwasannya galéndo adalah makanan khas Ciamis. Namun kita juga tahu bahwa pohon kelapa itu tumbuh dimana-mana, dan semua orang tahu bahwa buah kelapa akan menghasilkan minyak apabila diolah (dikeletik), dan menghasilkan galéndo. Lalu bagaimana jika ada seseorang misalnya bu Ngadiem orang Madura mengolah kelapa yang dia ambil dari kebunnya sendiri, kemudian dia mengolahnya didapurnya sendiri untuk membuat minyak kelapa, dan kemudian jadilah galéndo. Apakah itu bisa dikatakan makanan khas Ciamis?
Saya juga adalah orang yang tidak respect terhadap aturan "Rebo Nyunda". Kamprét dan pangsi memang merupakan pakaian khas laki-laki Sunda, tapi itu kan zaman dulu. Sekarang pakaian itu bukan lagi menjadi identitas orang Sunda, melainkan autribute ormas. Karena bagi saya "identitas" itu bukan terletak pada pakaian yang dikenakan semata. Tahun 2014 lalu, saya main di Semarang. Saat itu saya belum punya nama panggung, dan saya masih menggunakan nama sesuai akte yaitu Andi Kuswandi. Ketika MC memanggil nama saya ke atas panggung, dia langsung bertanya dengan nada bercanda "Pasti kamu orang Sunda ya?"
Nah itu, saya naik panggung sebagai musisi, memainkan Blues yang jelas-jelas bukan budaya Sunda, tapi pembawa acara bisa tau kalau saya ini orang Sunda.
Contoh lain, suatu hari saya diajak makan oleh teman di warung nasi pinggir jalan di daerah Jogja. Saat makan teman saya itu bertanya; "Kamu tau gak, ini yang jualan nasi orang Jawa atau orang Sunda?". Dan saya tidak bisa menebak, karena semua pelayannya anak gadis berpakaian kekinian dan berbahasa Indonesia. Teman saya bilang, warung nasi itu pasti milik orang Sunda, karena dilihat dari semua masakannya. Menurut dia masakan Sunda itu semua bumbu ditumbuk halus kecuali daun jeruk, daun salam, dan sereh. Sedangkan masakan orang jawa biasanya cabainya gak dihaluskan. Kesimpulannya adalah gak apa-apa hari rabu gak pake kamprét hideung, yang penting cabenya dihaluskan 😆
Cag!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar