Namun taqdir membawa saya untuk tinggal di kota Purwokerto, setidaknya sejak 5 tahun terakhir. Di kota ini suasana baru saya dapatkan. Bagi saya Purwokerto merupakan representasi dari miniaturnya Indonesia. Dikatakan demikian, karena Purwokerto benar-benar kota yang mewakili keanekaragaman Indonesia, dengan jumlah orang jawa yang dominan, banyak orang Sunda juga namun berlaga gak saling mengenal, dan hampir semua suku di Indonesia ada yang mewakilinya di kota pendidikan ini. Namun semuanya hidup berdampingan, saling menghargai, dan saling menghormati. Bahkan, saya pun bekerja di perusahaan milik warga keturunan chinese, dan sama sekali tidak pernah ada masalah yang disebabkan karena perbedaan itu. Malah atasan saya yang juga merupakan sodara kandung pemilik perusahaan tempat saya bekerja adalah partner sharing yang sangat menyenangkan. Begitu pula dalam hal keyakinan beragama. Hal yang tidak pernah saya temukan di kota kelahiran saya. Di Purwokerto saya bergaul dengan teman-teman yang berbeda-beda agama. Terlebih karena saya seorang praktisi musik (saya belum berani mengklaim diri saya sebagai musisi), membuat saya memiliki ruang lingkup pergaulan yang luas tanpa ada batasan suku, agama, ras, dan antar golongan. Saya sangat enjoy, dan benar-benar nyaman hidup berdampingan, bersahabat, bahkan menjadi satu kesatuan dengan semua teman-teman saya tanpa melihat latar belakang. Ya...inilah representasi dari Pancasila yang nyata kami amalkan.
Namun, semuanya berubah setelah Ahok (Gubernur DKI non-aktif) diduga menistakan agama. Saling sindir dan adu argumen (walaupun bersifat normatif) mulai terjadi, terlebih di social media. Orang-orang berubah menjadi sangat sensitif. Jujur saja, sebagai seorang muslim saya juga merasa kesal, sakit hati, dan marah terhadap ucapan Ahok tersebut. Pada awalnya, saya selalu menghindari perdebatan dengan sahabat yang pro terhadap Ahok. Karena saya menjaga keharmonisan persahabatan (saya tidak bicara Indonesa terlalu luas). Saya takut melukai hati orang-orang dekat yang pro Ahok (apapun alasannya).Namun semakin lama, para hati yang selalu saya jaga terus-terus "menyerang" umat islam (yang sebetulnya hanya menginginkan penegakan hukum secara adil), otomatis saya juga berang. Siapa orangnya yang tak tersinggung jika agama atau para pembela agamanya dicibir dan dicaci-maki? Karena itulah saya mulai ikut mengambil bagian dalam "perang dingin" ini, dan saya pun mulai meladeni perdebatan di media sosial, dan saya sangat siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Benar saja, setelah itu saya merasa seperti ada jarak antara saya dengan beberapa teman. Sekalipun kita berusaha untuk menutupinya dengan joke ataupun gelak tawa sekalipun, jarak itu terasa semakin melebar.
Satu hal yang ingin saya katakan adalah, saya tidak pernah membenci kristen/katolik, saya juga tidak membenci seorang chinese. Saya membenci Ahok bukan karena dia Katolik, bukan karena dia Chinese. Namun karena dia telah menghina dan menistakan agama dengan mengatakan bahwa Al_Qur'an itu bohong dan/atau alat untuk membohongi orang.
Demi Allah, saya tidak rela jika ikatan persaudaraan saya dengan sahabat-sahabat saya jadi retak dan bahkan hancur hanya karena ulah seorang Ahok.
Purwokerto, 21 Des 2016
hade pisan Ndi .... mantaappp !!!
BalasHapussedih kalo diceritain mah 😂
HapusAndi Gitu Lohh..
BalasHapus