Jumat, 20 April 2018

Kartini Under Cover

     Ada hal yang (cenderung) keliru dalam pemahaman kebanyakan dari kita mengenai spirit peringatan Hari Kartini (21 April). Sosok "Kartini" di era modern seringkali diidentikan dengan kemandirian seorang wanita karier. Yang ada di benak kita saat ini, sosok "kartini modern" ialah seorang wanita yang mampu menafkahi keluarganya sendiri, terlebih jika ia adalah seorang single parrent. Wanita yang memulai perjuangan hidup dari titik paling bawah sehingga mencapai titik kesuksesan sekalipun wanita tersebut hanya bekerja untuk keluarganya sendiri tanpa ada kepedulian terhadap orang lain dan lingkungannya maupun kontribusi terhadap peradaban. Dengan kata lain predikat "Kartini Modern" yang diklaim senantiasa mengacu pada kesuksesan individualis yang bersifat duniawi.
     Siapakah R.A.Kartini itu..?
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya R.M. Sosroningrat yang merupakan putra Bupati Jepara. Sedangkan ibunya adalah M.A. Ngasiroh, anak seorang ulama (pemuka agama). Jelas, darah biru mengalir deras dalam tubuh seorang R.A. Kartini, bahkan beliau diketahui masih keturuna dari Sultan Hamengkubuwono VI.  Dari latar belakang itulah beliau mendapatkan kesempatan yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain seusianya yang berasal dari keluarga rakyat jelata, yaitu kesempatan untuk bersekolah. Kartini muda sebetulnya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda, namun orang tuanya memilih untuk menikahkan Kartini dengan Bupati Rembang yang bernama K.R.M. Adipati Aryo Singgih Djojoadhiningrat.
     Satu hal yang membuat namanya dikenang, mendapat gelar Pahlawan Nasional, dan menjadi icon emansipasi wanita adalah karena beliau memiliki kepedulian terhadap rakyat terutama mengenai hak-hak kaum wanita. Kartini ingin agar kaum wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan pendidikan, agar kaum wanita bukan hanya menjadi "pelayan" bagi kaum laki-laki. Pemikiran dan gagasannya tentang penyetaraan hak bagi kaum wanita ia tuangkan dalam tulisan-tulisan.
Apakah beliau berjuang sampai berhasil..?
Tidak, karena beliau wafat di usia yang masih muda, tak lama setelah beliau melahirkan anak pertamanya pada usia 24 tahun.
     Dari uraian singkat di atas, jelaslah bahwa R.A.Kartini bukanlah seorang wanita karier, bukan single parent, bukan pula seorang istri yang berani membangkang kepada suaminya. Yang membedakan seorang Kartini dengan wanita lain adalah kepeduliannya terhadap orang lain, terhadap hak-hak kaum wanita, dan terhadap kehidupan dan deradaban rakyat. Jadi, "Kartini Modern" adalah para wanita yang melanjutkan perjuangan dan cita-cita R.A.Kartini yaitu untuk mencerdaskan kaum wanita, agar kaum wanita bisa mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Kartini Modern adalah para wanita yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi, berbudi pekerti luhur, dan dan setia kepada pasangan sampai azal menjemput.
   

Jumat, 30 Maret 2018

Jabar Nangtung

     Pilgub Jawa Barat yang akan dilaksanakan Juni mendatang bukan semata-mata pesta demokrasinya masyarakat Tatar Pasundan. Pilkada Jabar bisa dijadikan parameter peta politik nasional dalam menghadapi pemilu legislatif dan pilpres 2019. Sebagaimana kita ketahui bahwasannya Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah DPT (daftar pemilih tetap) terbanyak, yaitu 33.138.630 pemilih. Atau sekitar 15% dari jumlah DPT nasional (196.545.636). Asumsinya adalah, menang di Pilgub Jabar 2018 merupakan modal berharga untuk menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Atas dasar kalkulasi politik tersebut, partai-partai peserta pemilu berlomba-lomba mengusung orang-orang "pilihan" untuk bertarung di ajang Pilgub Jabar. Hal itu membuat Pilkada Jabar semakin menarik untuk diperbincangkan.
     Apabila kita flashback ke Pilgub Jabar 2013 lalu, kita bisa melihat betapa menariknya Pilgub Jabar. 2013 lalu para "petarung" berlatar belakang aktor/aktris, ada nama Dede Yusuf, Rieke Dyah Pitaloka, dan Dedy Mizwar. Sedangkan pada Pilgub kali ini tidak kalah menarik. Ada nama Ridwan Kamil yang dikenal sebagai arsitek kelas dunia. Nama Ridwan Kamil sangat populer setelah terpilih sebagai wali kota Bandung 2013-2018. Gayanya yang stylist dan kemampuan komunikasi yang baik membuat nama Kang Emil (sapaan akrabnya) kian dikenal luas. Bukan cuma di Bandung atau Jawa Barat saja, nama Ridwan Kamil dikenal orang dalam sekala nasional. Kita bisa melihat followes akun media sosialnya (instagram; @ridwankamil) berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Deretan awords baik ketika beliau masih berprofesi sebagai arsitek maupun sebagai walikotapun terbilang "mentereng". Dan itu semua sudah sangat cukup untuk dijadikan bahan "tawar-menawar" dalam Pilgub Jabar.
     Nama lain yang cukup populer adalah Dedy Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta ini menjadi Cawagubnya Dedy Mizwar yang diusung koalisi Partai Demokrat dan Golkar. Nama Dedy Mulyadi santer jadi bahan perbincangan publik karena kebijakan-kebijakannya yang terkesan "sensasional" dan "kontroversial". Sebut saja kebijakannya dalam hal tata-kota, Dedi Mulyadi pernah diprotes keras oleh kalangan alim-ulama prihal pembuatan beberapa patung di Purwakarta. Dedi yang berlatar belakang seorang budayawanpun menuai banyak kritikan terkait kebijakannya membalut pohon-pohon di kota dengan kain. Namun demikian, kebijakan-kebijakan kontroversialnya itu didukung oleh para budayawan. Dedi Mulyadi juga dikenal sebagai Bupati yang selalu tampil "nyentrik". Gaya berpakaiannya yang khas membuat beliau mudah dikenal secara luas, terlebih karena beliau merupakan petinggi Golkar DPD Jawa Barat. Tak kalah oleh Emil, sebagai seorang Bupati, Dedi juga meraih banyak penghargaan dari Pemerintah nasional.
     Uu Ruhzanul Ulum, dikenal sebagai Bupati kabupaten Tasikmalaya yang sukses dengan program "Gerbangdesanya". Program pembangunan yang berporos pada kekuatan masyarakat desa inilah yang kini Uu "jual" dalam Pilgub Jabar bersama pasangannya yaitu Ridwan Kamil. Uu yang diusung PPP dan berlatar belakang Bupati Tasik yang dikenal sebagai "kota santri" merupakan salah satu alasan lain bahwa dirinya patut diperhitungkan.
     Selain Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, dan Uu Ruhzanul ulum, kontestan lain yang berlatar belakang pejabat ekskutif daerah adalah Ahmad Syaikhu. Beliau adalah wakil walikota Bekasi sekaligus politisi Partai Keadilan Sejahtera. Ahmad Syaikhu juga dikenal sebagai sosok yang religius, hal ini yang membuat Gerindra memasangkannya dengan Mayjen(purn) Sudrajat.
***
     Jika kita bicara "kans" atau peluang, tentunya kita harus melihat dari beberapa sudut pandang. Jika mengacu pada jumlah kursi partai pengusung, tentu pasangan Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi unggul. Diusung oleh koalisi Golkar dan Demokrat yang jumlahnya 27 kursi DPRD. Urutan berikutnya adalah Ridwan Kamil dan Uu Ruhzanul ulum yang diusung oleh PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura. Berikutnya adalah pasangan Sudrajat-Syaikhu yang diusung tiga partai yakni PKS, PAN, dan Gerindra. Sementara pasangan dari PDIP menempati posisi terbawah. PDIP memiliki jumlah kursi terbanyak di DPRD Jabar (20), dan membuat PDIP bisa mencalonkan Cagub tanpa harus koalisi dengan partai lain.
     Selain faktor dukungan partai, ada faktor lain yang sebetulnya lebih menentukan dalam hal "peluang" menjadi pemenang. Pilkada Jabar itu selalu unik dan menarik. Pada Pilgub 2008, pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf mampu mengalahkan Dani-Iwan sebagai Cagub Petahanan dan pasangan lain sekelas Mayjen (purn) Agum Gumelar yang namanya jauh lebih populer daripada Ahmad Heryawan. Pada saat itu Aher-Dede diusung oleh PKS dan PAN, yang tentunya bukan pemilik suara mayoritas di DPRD Jabar. Begitupun pada Pilgub 2013, lagi-lagi Aher mampu mengalahkan Dede Yusuf yang diusung Demokrat dan Rieke Dyah Pitaloka yang diusung PDIP. Dari pengalaman itu, kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Jawa Barat memilih bukan berdasarkan latar belakang partai.
     Popularitas dan kesan religius Cagub-Cawagub juga sangat penting untuk menarik hati para pemilih di Jawa Barat. Dan instrumen itupun kian sulit dijadikan acuan karena semua cagub-cawagub memiliki plus-minusnya masing-masing. Dedy Mizwar yang dikenal sebagai sosok yang religius justru dilemahkan oleh pasangannya yaitu Dedi Mulyadi yang sarat akan kontroversinya. Dedi Mulyadi dipandang sebagai sosok konservatif oleh beberapa kalangan. Namun dalam hal ini justru pasangan Tubagus Hasanudin - Anton Carlyan yang paling rendah. Anton justru memiliki catatan hitam ketika masih menjabat sebagai Kapolda Jabar. Anton pernah terlibat perang dingin dengan umat Islam. Bentrokan fisik antara laskar FPI dengan GMBI yang merupakan ormas binaannya tersebut masih sangat diingat publik. Terlebih pandangan masyarakat terhadap GMBI yang buruk akan menambah ketidaksukaan publik terhadap seorang Anton Carlyan. Dan satu hal lagi yang harus diingat bahwa PDIP selalu kalah dalam Pilkada Jabar, Bahkan pada Pilpres 2014 sekalipun Jokowi kalah di Jabar.
     Dalam hal ini, pasangan Sudrajat-Syaikhu yang unggul, karena pasangan ini diusung oleh dua partai Islam yaitu PAN dan PKS, dan partai Gerindra yang merupakan partai oposisi. Tidak dipungkiri bahwa saat ini masyarakat terbelah dua setelah pilpres 2014. Terlebih setelah kasus ahok muncul ke permukaan. Puncaknya adalah apa yang dikenal sebagai Aksi Bela Islam 212. Dan itu menguntungkan bagi Gerindra, Pks dan Pan yang kader-kader partainya ikut andil dalam aksi tsb. Bahkan Prabowo dan Amin Rais merupakan salahsatu pembicaranya. Sudrajat yang berlatar belakang militer dan Ahmad Syaikhu yang religius dianggap sebagai pasangan paling ideal untuk Jawa Barat.

Secara keseluruhan, Pilgub Jabar merupakan "Perang Bintang" yang sangat kita nantikan. Dan sebagai warga Jawa Barat kita berharap, siapapun yang jadi Gubernur semoga bisa memimpin dan membawa Jawa Barat ke arah yang lebih baik dalam segala hal.
Amin..




Ciamis, 31 Maret 2018

sersan endang